Ketika Pasien Sakit Jiwa Bertanya
Paragraf di buku bersampul biru itu berakhir dengan kalimat, “Hari-hari terakhir perawatan, pasien tidak lagi menunjukkan gejala psikotik, sehingga sudah di perbolehkan PULANG”. Aku menutup buku itu dan tersenyum, menatap pasien dan keluarganya, mereka juga membalas senyumanku, tanda sebuah kepuasan.
Setelah hampir 1 bulan berada dalam kurungan kejiwaan, si pasien ini kembali kami nyatakan “normal” seperti orang-orang lain. Acara selanjutnya tidak jauh-jauh dari proses administrasi, pembayaran, serah terima pasien dengan keluarga, salam-salaman dan pulang.
Aku mengantar pasien sampai ke pintu ruangan, selanjutnya sebuah mobil MPV mewah telah menunggu si pasien di depan rumah sakit untuk kembali ke lingkungan “normal”nya. Sekali lagi aku tersenyum puas, bukan hanya karena keberhasilan kami untuk merawatnya, pasien pulang berarti jumlah pasien yang harus di rawat dan di jaga juga berkurang.
Aku duduk di kursi depan ruangan, dengan pasien-pasien yang baru saja mengantarkan kawan senasibnya pulang. Seorang pasien datang mendekati kami, mencoba membuka komunikasi dengan bertanya.!
"Dia udah boleh pulang ya pak?",
“Iya”, jawabku singkat!,
“Kenapa saya tidak? Kan saya udah sembuh juga?” Tanya nya lagi.
“Tapi bapak kan masih suka menipu?” jawabku sekenanya.
Memang, pasien yang satu ini cukup kritis, selain berpendidikan sarjana, dia juga mantan seorang aktivis yang karena “keaktifannya” berimbalan dengan penyenderaan dan penyiksaan fisik oleh OTK dan berakhir disini, Rumah sakit jiwa. Selain masalah halusinasi, dia juga punya sedikit hobi “menipu”.
Kurang puas dengan jawabanku, dia berargumen lagi..”lha…saya menipu kan karena orang lain menganggap saya gila? Padahal saya kan tidak?” karena masih lelah, aku hanya diam mencoba mendengarkan “orasi”nya.
“Apa bedanya saya dengan orang lain pak? Orang lain juga menipu? Bapak baca kan di Koran kan? banyak pegawai tidak masuk kantor, tapi mereka masih digaji sama dengan orang yang kerja lebih berat?? Banyak guru dan dosen malas gak pernah masuk mengajar tapi masih ambil gaji penuh?? Banyak mahasiswa yang suka menyontek waktu ujian? Apa bedanya dengan saya pak?” sambungnya panjang lebar.
Sekali lagi aku tersenyum, ketir, pahit, kalah bersilat pikiran dengan orang “gila”. Sambil sedikit merenung apa yang baru saja dikatakannya. Melihat diriku sendiri sejauh mana aku tidak menipu, mencoba menilai sewaras apakah aku ini. Pernahkah aku makan gaji buta? pernahkah aku menipu mahasiswa? Pernahkah aku berlagak serba waras tanpa sedikitpun gila?, pernahkah aku makan jatah orang yang sama sekali bukan hak ku?
Kucoba hentikan lamunanku pada awan gelap yang mulai berjamaah mengelilingi langit biru Tuhan. Karena jika lamunanku kelewatan, maka aku akan berstatus sama dengan si pasien ini. Aku kembali menunduk dan menatap wajah-wajah dengan afek datar di depanku, tersadar “justru di saat berada diantara pasien jiwa aku merasa sedikit waras, sedangkan disaat aku berada diantara orang-orang yang mengaku waras, aku justru lebih gila dari pada orang-orang dengan gangguan jiwa”.
Kepada si pasien, dalam hatiku ingin ku katakan, bahwa mereka menipu dengan sadar dan dalam keadaan waras dan normal, sedangkan engkau pak, menipu karena memang sedang mengalami gangguan, dan apakah tipuan karena gangguanmu itu lebih normal dari pada mereka yang menipu dalam keadaan waras dan sadar?”
“Hmm, mungkin kau lebih baik dan lebih waras dari mereka yang mengaku waras, pak!”.
(Banda Aceh 090710)
kayaknya pernah baca? :0)
ReplyDelete