Lelaki Tua di Klinik Dokter
Lelaki tua itu duduk diatas kursi di sudut ruang tunggu sebuah praktik dokter. Dengan tongkat kayu ditangan, sesekali ia membolak-balikkan koran. Tampak ia kesusahan membaca, kacamata plus minus tebal yang menghiasi wajah kurusnya tak cukup kuat membantu penglihatannya. Ia sadar, ia berbeda dengan pasien yang lain. Pertama, pakaiannya yang sangat sederhana, berkain sarung dan baju kaus berkerah dengan iklan sebuah produk sabun colek di bagian perut dan punggungnya, plus kopiah hitam yang sudah menguning yang dikepalanya, sangat kontras dengan pengunjung lain yang berpakaian necis, rapi layaknya orang kaya kota. Kedua, pengunjung umumnya adalah kaum perempuan, kalau ada lelaki, ia pasti datang menemani istrinya yang berobat, maklum, ini adalah praktik dokter kandungan.
Penasaran dengan 'pasien aneh' yang sedari tadi duduk di bangku bagian paling belakang itu, perawat yang baru saja membagikan mencatat nama pasien sore itu bertanya ke mahasiswa spesialis kandungan yang ikut membantu sang dokter berpraktik sore di klinik.
"Dek, bapak tua di belakang itu siapa? Kenal tidak? Keluarga pasien atau siapa?" tanya perawat, mahasiswa yang ditanya juga bingung
"gak tau kak, gak kenal" jawabnya singkat.
"Mungkin orang minta sedekah? Tapi gak bawa-bawa kertas, malah baca koran" tambah si perawat lagi.
"Iya kak, kalau orang minta sedekah juga gak mirip, mana ada peminta sedekah baca koran" jelasnya.
Mendengar percakapan antara perawat dengan mahasiswa ini, keluarga pasien yang duduk dekat meja perawat juga ikut nimbrung, "Tadi bapak tu tanya ke saya, sidin sudah sampai? Tapi saya gak tau siapa sidin, saya bilang kalau dokternya belum sampai, terus bapak tu duduk lagi" jelas keluarga pasien.
TV yang ada di depan ruang tunggu kini sedang memberitakan tentang seorang artis yang sedang melakukan resepsi pernikahan seorang artis yang menghabiskan uang milyaran rupiah. Sejak beberapa hari, hampir semua stasiun berita memberitakan peristiwa pernikahan terakbar di negeri pertiwi, mengalahkan pemberitaan pernikahan anak presiden sekalipun. Hampir semua mata di ruangan tertuju ke TV, ada yang menelan ludah saat mendengar jumlah undangan dan uang yang dihabiskan, ada yang menggeleng kepala degan hebohnya perkawinan, ada juga pasangan yang cemburu dengan si artis "kita kenapa tidak begitu sayang ya?" tanya seorang wanita muda yang sedang hamil muda sambil memegang mesra tangan suaminya, yang ditanya hanya diam. Sementara itu, si kakek berkopiah hitam sama sekali tak melirik TV, dia sibuk membaca koran, entah berapa halaman sudah dia lewatkan.
"Dek, coba tanya lah, bapak itu nunggu siapa, sayang juga orang tua nunggu gitu, kembali perawat meminta ke mahasiswa yang berdiri di samping nya,
"Iya kak" jawabnya singkat, sambil melangkah ke dekat si kakek. Tiba di samping kursi kakek, si mahasiswa sedikit menunduk sambil bertanya,
"Maaf kakek, kakek tunggu siapa?" si kakek yang sedikit kaget langsung memberikan tangan untuk bersalaman, yang juga di sambut mahasiswa itu,
"oh, sa saya mau jumpa sidin sebentar, sakit perut saya, mau meu-ubat", jawabnya bercampur Bahasa Aceh sambil tersenyum menampakkah rahangnya yang tak lagi bergigi.
"Maaf kakek, kalau sidin tak ada disini, ini kan praktek dokter kandungan, Prof Ahmad, kalau sidin tidak ada" jelas di mahasiswa,
"Jadi sidin bukan praktek sini? Katanya dia disini, katanya pas samping apotek seulawah" jawab sikakek seadanya.
"Iya, disini cuma ada dua praktik dokter, sebelahnya Prof Jailani, ahli penyakit dalam, kalau disini Prof Ahmad, ahli kandungan, mungkin kakek mau jumpa Prof Jailani dulu? Kakek sakit perut kan?" tanya si mahasiswa,
"Si man boleh juga, nanti saya jumpa si man kalau tidak ada si din" jawab si kakek sekenanya. Sementara si mahasiswa malah bertambah bingung, siapai lagi si man yang dimaksud si kakek.
Belum sempat bertanya siapa si man yang di maksud si kakek, si mahasiswa tiba-tiba dipanggil perawat "dek dek, dokter udah masuk tu, di belakang tuh, kata si perawat. Mahasiswa itu pun bergegas masuk ke dalam, tanpa sempat berpamitan dengan si kakek.
"berapa orang hari ini ati?" Tanya dokter ke perawat sambil mencuci tangannya di wastafel,
"seperti biasa dok", jawab si perawat
"mahasiswa?" tanya dokter lagi,
"cuma saya sendiri prof" jawab si mahasiswa sambil menunduk,
"dari mana saja kamu?" tanya si dokter lagi
"dari ruang tunggu prof, tadi, didepan…
"nonton?" potong si dokter,
"bukan prof, ada kakek kakek nunggu, bukan keluarga pasien, katanya cari sidin,ya saya bilang gak ada sidin disini, tapi masih nunggu saja".
Mendengar kata "sidin" dari mulut si mahasiswa, sang profesorpun terhentak, baju jas dokter yang baru dia pakai sebelah, kembali dia tanggal kan dan di gantung sambil bertanya,
"dimana bapak itu?"
"masih di ruang tunggu prof" jawab si mahasiswa.
Dokter itu segera keluar dari ruang praktinya dan berjalan menuju ke ruang tunggu pasien, tiba dipintu dia melempar senyum ke pasien yang sedang menunggu, beberapa ada yang mencoba bersalaman, si dokter hanya membalas seadanya sambil mencari dimana si kakek duduk. Yang dicari kini sedang asik membaca koran, sangkin tingginya, yang nampak hanya topi hitamnya. Dokter Ahmad tau pasti siapa yang duduk disana, dan langsung melangkah ke depan si kakek, tiba didepan, sang profesor langsung menunduk, menggucapkan salam dan mencium tangan si kakek. Melihat fenomena aneh ini, sesisi ruangan kembali terdiam, siapa gerangan si kakek yang membuat seorang Profesor Ahman mencium tangannya, terus membungkuk hingga si kakek berdiri.
"peu sibok that? trep that bak ta preh" sebut si kakek
Profesor yang terkenal menakutkan dikalangan mahasiswa, kini tampak bak macan ompong, menjawab pertanyaan si kakek saja dia gemetaran.
"ban lon woe ngajar Abu, nyoe ban trok" jawab si dokter sambil menunduk, tak berani menatap si kakek.
"Jak ta tamong u dalam Abu", si kakek itupuan berdiri, mengambil tongkatnya, dan berjalan pelan sambil dipegangi oleh profesor. Semua mata masih menatap mereka berdua, mulut mereka juga terdiam seribu bahasa.
"ngen soe neu jak abu?" tanya si dokter sambil memapah si kakek,
"ngen becak si alaidin", jawab si kakek,
"meunyo saket peken han neupeugah, atau neupeusan bak ureung, jeut lon woe, " tanya si dokter sambil masuk ke dalam ruangan praktiknya.
"hawa kujak u banda, ka trep hana kujak" jawab si kakek diringi dengan tertutupnya pintu kamar periksa dokter Ahmad.
Perawat dan mahasiswa tidak berani masuk kedalam, dengan bahasa isyarat mereka saling bertanya, siapa si kakek? Tapi jawaban mereka hanya gelengan kepala. Keluarga pasien yang duduk di dekat meja perawat juga ikut bertanya? "apa itu bapaknya dokter?" si perawat langsung menjawab, "gak lah bu, bapaknya dokter udah lama meninggal, ibunya juga sudah lama almarhum" trus kalau gitu siapa juga? Tanya si keluarga penasaran. "kalau saya tahu, sudah saya bilang ke ibu dari tadi bu".
Beberapa saat kemudian, mata mereka kembali ke layar TV yang kini beritanya telah berubah ke masalah pensiunan yang gajinya dikorup pejabat daerah. Setelah sekitar 10 menit, dari jauh mereka melihat Prof Jailani berjalan cepat, mendekat, dan langsung masuk ke ruang dimana si kakek dan dokter ahmad berada, wajah dokter jailani juga nampak lebih serius dibandingkan biasanya. Perawat dan mahasiswa kini bertambah bingung, ada apa dua orang profesor ahli melihat seorang kakek tua renta? "gak tau lah dek, semoga kita gak kena semprot aja setelah itu", sebut si perawat ke simahasiswa.
Sepuluh menit kemudian, dokter Jailani keluar, menuju ke apotik yang letaknya di depan, membeli obat dan kembali ke ruangan dimana dokter ahmad dan si kakek berada. Mereka kini tambah bingung, padahal biasanya yang ambil obat adalah pasien sendiri, atau kalau butuh yang emergensi, biasanya dokter nyuruh mahasiswa atau perawat yang disana, tapi dokter jailani malah membeli sendiri, dengan uang sendiri lagi. Lagi lagi mereka hanya geleng-geleng kepala.
Lima menit kemudian, ketiganya keluar dari ruangan, si kakek kini berada di tengah, dipapah oleh dua orang profesor disampingnya. Dia terus berjalan pelan dibantu oleh tongkatnya, menuju ke tempat parkiran. Dokter jailani menawarkan diri untuk mengantar sang kakek, tapi ia kekeuh dengan jawaban, ia ingin pulang dengan becak saja. Becak yang dipanggilpun mendekat, si kakek naik ke dalam dan dokter ahmad menyerahkan ongkos ke si supir, sambil berpesan pelan-pelan dan agar diatas sampai ke rumah. Sekali lagi mereka salaman sambil mencium tangan si kakek. Kemudian becakpun berjalan, hilang ditengah, kerumunan mobil. Setelah benar-benar becak si kakek tak nampak dari pandangan, baru mereka berbalik arah, kembali ke tempat praktinya.
Sambil menepuk kepala sendiri, dokter jailani berkata
"karap meupunyho", diikuti tawa dokter ahmad.
"kubit ha geutem ek moto, geujak pih han geupeugah-peugah", sambungnya lagi.
"kiban tapueget, ka dari jameun meunan" jawab dokter ahmad.
Keduanya pun berpisah, berjalan ke arah klinik masing-masing. Setelah sekilas meminta maaf ke pasien yang sudah menunggu, dokter ahmadpun masuk dalam ruangan. Kemudian pasien dipanggil satu per satu untuk diperiksanya.
Setelah semua pasien selesai diperiksa saat itu, perawat yang masih penasaran kembali bertanya.
"dok, kalau boleh tanya, sebenarnya siapa abu tadi?" mendengar pertanyaan ini, dokter yang masih duduk di kursinya menarik nafas panjang, dan kemudian menjawab
"itulah orang yang paling preman" orang yang paling saya takuti, bang Jailani juga" disertai senyumnya.
"preman maksudnya?" tanya perawat lagi?"
"iya, pokoknya menakutkan buat kami"
Bersambung.. (kapan2)
Post a Comment