Cara Warga Jerman Memperlakukan Orang Sakit Jiwa
Gadis Itu |
Dari rumah sakit virchow, aku memutuskan untuk berjalan kaki ke Mesjid Al-Falah, satu satunya mesjid warga Indonesia di Berlin. Walau sebenarnya bisa naik bus dengan tiket gratis, dengan jarak sekitar 1 KM, aku memilih untuk jalan kaki, kuanggap saja olah raga, sembari melihat sudut sudut lain kota Berlin. Melewati toko yang berusia puluhan tahun, taman kota yang mulai ditumbuhi bunga, menyeberangi jembatan khusus pejalan kaki diatas sungai yang airnya bersih, tak ada lumut, apalagi sampah, aku benar benar menikmati dimensi lain ibukota Jerman ini.
Tiba di seberang, aku menemukan sebuah pemandangan yang belum pernah kulihat sebelumnya di negara ini. Seorang gadis manis berambut pirang, berjalan hoyong di pedestrian, memakai pullover hitam, celana krem urakan, sebuah sepatu hitam di tangan kirinya dan ssebuah kartu nama di tangan kanannya. Rambut blond nya acak acakan, baju pullover hitamnya juga penuh dengan kotoran, sepertinya ia baru selesai berguling guling diatas tanah. Dia bertelanjang kaki,
tidak ada penutup di kakinya, tak ada sandal, apalagi sepatu. Sepatu yang di tenteng di tangan kirinya juga hanya sebelah, dan lebih mirip sepatu pesta.
Karena jalannya yang sangat lambat, aku bisa mendahuluinya, dari dekat aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Cukup manis, masih muda, ada bekas lebam di matanya, begitu juga sepertinya ada darah yang mengering di lengan kanannya. Entah apa yang terjadi pada gadis cantik ini.
Aku terus berjalan, ingin ku foto, tapi takut dia marah. Setelah melewat dia, dari jarak beberapa meter, aku kembali memalingkan wajah kebelakang, kulihat dia masih berjalan gontai, afek datar. Kali ini aku nekat mengeluarkan kamera. Pura-pura memotret pemandangan di sekelilingnya, dan dia kuletakkan di sudut foto. Pemandangan aneh di jerman yang wajib diabadikan.
Mobil mobil terus berjalan, jarang ada yang memperharhatikan, hari sudah sore memang, mereka juga sepertiku, ingin mengejar waktu, menuju tempat yang diinginkan. Sekilas membiarkan sang gadis dengan dunianya.
Selesai memotret, aku kembali berjalan menyeberang di sebuah ampel (lampu merah) dan istirahat sebentar di sebuah halte bus. Tidak kusangka, sang gadis juga ikut menyeberang, tapi bukan pada tempatnya, asal potong jalan. Untung suasana sedang sepi saat itu.
Dari jauh kulihat sebuah mobil smartfortwo (mobil kecil dua tempat duduk) berhenti di seberang, seorang wanita paruh baya memegang telepon genggam. Dia juga terus memperhatikan wanita tadi, aku pikir itu keluarga si gadis, yang mengejar dia. Saat lampu merah menyala, dia langsung menseberangkan mobilnya, dan parkir hanya beberapa meter di depan halte dimana aku sedang duduk. Belum juga dia mematikan mesin, sebuah mobil polisi berhenti di depannya, dan langsung menuju wanita yang masih di dalam mobil tadi. Aku pikir kini ia ditilang karena menyeberang sembarangan. Tapi rupanya tidak, ia malah menunjuk nunjuk gadis yang juga masih berjalan hoyong, kini sedang meminta sesuatu dari penunggu bus disekitar halte.
Rupanya wanita dimobil kecil tadi yang menelpon polisi, dan memberitahu tentang gadis malang ini. Kedua polisi pun menuju gadis yang kini berdiri kurang dari 3 meter dariku. Sesaat gadis itu menjadi pusat perhatian para penunggu bus, tapi tak ada yang menertawakan, hanya kata-kata iba kudengar dari mulut mereka.
Wanita sopir mobil kecil tadi juga mendekat, dan meminta polisi untuk mengurus wanita ini, polisi mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Wanita itupun pergi, meninggalkan si gadis, dua polisi, dan kami disekitarnya. Tanpa sadar aku menggeleng kepala, mereka yang kita anggap orang barat ternyata sungguh besar rasa sosialnya. Bukan teman, bukan tetangga, apapalagi saudara, tapi mereka mau memberikan perhatian buat orang yang nasibnya sedikit kurang beruntung dibanding kita yang menganggap dirinya waras.
Saat seorang polisi sedang bertanya tanya kepada si gadis ini, seorangnya lagi mengambil buku catatan di mobilnya. Kemudian ia mencatat apapun yang mereka tanyakan. Gadis ini ternyata bisa menjawab pertanyaan polisi dengan baik, walau kadang-kadang sedikit ngawur. Tapi polisi cukup sabar menghadapi si gadis ini. Tidak ada kemarahan dari wajah mereka, sangat ramah malah. Orang orang yang ada disekitar juga hanya melihat seadanya, tidak mendekat, apalagi bergerombolan membentuk lingkaran mengelilingi sang gadis seperti yang yang lazim terjadi di kampung saya. Mereka iba, simpati, tapi lebih membiarkan pak polisi yang mengurusnya.
Sebuah bus kemudian berhenti didepan halte, menurunkan beberapa orang penumpang, dan kemudian orang yang berdiri di sekitarku kini sudah berpindah tempat didalam bus, aku memutuskan untuk tetap memperhatikan gadis ini dan kedua polisi tadi.
Seorang polisi kemudian memegangn telponnya, entah siapa yang di telpon, aku juga tidak bisa mendengar apa yang bisa dia ucapkan. Sedangkan kawannnya masih terus mencoba berkomunikasi dengan sang gadis, tapi sepertinya tidak berhasil. Sambil sesekali melirik ke mereka, aku pura pura mengirim pesan melalui hape ke istriku di kampung, padahal aku tau itu sudah jam tidurnya. Dan memang dia tidak membalasnya.
Beberapa saat kemudian, dari kejauhan aku mendengar bunyi sirine, cukup kencang dan terus mendekat. Awalnya aku tebak itu ambulance biasa, tapi ternyata sebuah mobil beruliskan "Berliner feuerwehr" atau dinas pemadam kebakaran Berlin. Dan memang mobil yang dikirim adalah ambulan, bukan mobil dengan tangki air dibelakangnya. Mobil itu lagi lagi berhenti tepat di depan halte, tempat berhenti khusus bus, tak ada mobil lain boleh berdiri disini, tapi pemadam dan ambulan mendapat perlakuan istimewa, mereka bisa parkir dimana saja dibutuhkan.
Dua orang anak muda turun dari mobil, keduanya memakai baju kaus lengan panjang berwarna putih, dan celana berwarna merah. Tulisan Berliner feuerwehr nampak jelas di belakang baju mereka. Sekali lagi saya takjub, ternyata petugas pemadam kebakaran di negeri ini tidak hanya tahu cara memadamkan api, tapi juga tahu harus melakukan apa saat emegensi, termasuk tindakan medis. Keduanya kini menggunakan sarung tangan biru, dan kembali mengajak sang gadis bicara. Namun hanya mendapatkan jawaban yang relativ sama dengan yang didapatkan pak polisi.
Selanjutnya sang gadis diajak naik ke belakang ambulan, si gadis ikut tanpa menolak sama sekali, walau ia tampak kesusahan menaiki tangga ambulan tadi. Didalam mobil, ia didudukan diatas kursi mirip dengan kursi di dokter gigi, seorang petugas mengambil sebuah tas besar berisi alat alat medis, dan pintu ambulance di tutup. Aku tidak tahu pemeriksaan apa yang mereka lakukan di dalam.
Aku mencoba menunggu beberapa saat, namun kurasa waktuku sudah terlalu banyak habis disitu, sehingga kuputuskan untuk meninggalakan mereka, berjalan kembali menuju mesjid Al Falah, waktu ashar memang sudah mendekat.
Sedangkan untuk si gadis tadi, aku yakin dia mendapatkan perlakuan yang layak dan sesuai dari negaranya. Sesuatu yang masih jarang dan langka diperoleh oleh warga di negaraku. Apalagi mereka yang kita sebut sebagai "orang gila".
Seandainya setiap saat kita melintas di jalanan Indonesia dan menemukan orang gila, kita bisa menelpon polisi, atau ambulan, yang kemudian mereka membawa orang orang gila ini ke rumah sakit jiwa. Aku yakin, tak akan ada lagi orang gila yang berjalan jalan tanpa arah di negeri kita. Bukankah mereka juga warga, yang hak haknya di jamin oleh negara??
Sekian,
Berlin 2.5.13
Post a Comment