Vorname Bitte: Ribetnya Ketika Tidak Punya Nama Keluarga
Entah berapa kali saya berhubungan dengan vorname ini, hampir setiap pertama kali saya mengisi formulir, tiket, atau apapun yang berbentuk surat penting, vorname alias nama depan selalu ditanya lagi. Susah memang menjelaskan kalau saya hanya punya satu nama, satu saja, itu tok.
Ya, cara penulisan nama di Indonesia memang tidak mewajibkan adanya nama keluarga,lihat aja nama presiden pertama dan kedua kita, hanya punya satu nama, soekarno, soeharto. Kawan-kawan sekelas saya waktu SD dulu juga hampir semuanya hanya punya satu nama: Muksin, Munzir, Lindawati, Herawati, Rahmiati, Safwadi, dan sebagainya. Sepertinya orang tua kami tak pernah serius memikirkan atau mempersiapkan nama buat anak-anaknya. Bahkan banyak yang minta nama dari teungku kampung, orang tertua kampung, dan sebagainya. Nama saya yang hanya satu suku kata ini juga bukan pemberian orang tua, tapi pemberian Alm Abu Dahlan pimpinan dayah Tanoh Abee, meski belakangan saya dipanggil dengan nama panggilan ala alm nenek saya, yang juga hanya satu kata.
Dari beberapa peristiwa nama satu suku kata, ada beberapa kejadian yang bikin saya ketawa, setidaknya geli ketika mengenangnya. Pertama ketika pertama kali ke Jerman dan harus membuka akun di bank. Dengan modal surat dari kampus bahwa saya akan kuliah disana, datanglah kami dengan kawan-kawan ke bank terdekat. Di bank, ya seperti biasa, isi form, teken ini itu, dan sebagainya. Setelah selesai ya kasi ke yahwa yang di kasir untuk di cek, dan seperti saya duga, melihat saya hanya mengisi "familien name" alias nama keluarga dengan nama saya, sedangkan kolom "vorname" nya kosong, langsung saja form itu dikembalikan dan bilang "vorname bitte". Dan dari situ saya harus menjelaskan kalau saya hanya punya satu nama, tapi dia kekeuh minta nama depan saya, setelah menjelaskan, sambil memperlihatkan semua dokumen yang saya punya, Paspor, SIM, KTP yang semuanya hanya ada satu nama, dia baru mau angguk, walau masih heran, "selama saya kerja di Bank ini, baru kali ini saya lihat orang yang hanya punya nama satu nama", jawabnya jujur. Tak mau kalah, saya balas jawab, "coba aja kerja di kampung saya, setiap hari anda bisa bertemu puluhan orang yang hanya punya satu nama seperti saya. Karena sistem di Bank dimana dia bekerja harus mengisi dua nama, nama depan dan nama belakang, akhirnya nama saya diulang dua kali, martunis martunis. Habis perkara.
Kejadian lain yang saya ingat adalah ketika mau nonton pameran kerja di komplek bandara templehoff Berlin. Nah, untuk masuk, disana kita harus daftar dulu, kemudian akan dikasi badge nama. Setelah antri dan ketemu sama si nyakwa di meja, saya hanya diserahkan sebuah laptop untuk mengisi sendiri formnya. Seperti biasa, karena harus menulis nama depan dan nama belakang, ya saya ulang saja dua kali, seperti di bank. Setelah semua data di entri, badge nama akan di print secara otomatis. Nah, ketika mengambil badge nama dari printer, dia sempat membaca nama saya, dan ketika mau diserahkan, dia bilang, "sepertinya kamu salah tulis, kamu ulang nama depan dan nama belakang", katanya. "oh tidak, saya hanya punya satu nama, jadi saya ulang saja dua kali". Mendengar jawaban tadi, ketawanya lepas, selepasnya, bahkan orang yang lagi antri dibelakang saya jadi kaget, apa yang membuat cewek manis ini ketawa begitu terbahaknya. Tak mau kalah, saya juga ikut ketawa, hahahahah.
Kemudian, ada juga kasus dimana kantor yang tidak mau mengulang nama saya, tapi harus ditulis sesuai dengan paspor, jadinya nama depan saya kosong diganti dengan tanda (-). Lengkapnya begini: - martunis. Dan apa yang terjadi selanjutnya? Ketika saya terima surat resmi dari mereka, kata-kata suratnya dimulai sebagai berikut;
Dear -
Dan untuk ini bisa saya pastikan kalau suranya dikirim otomatis, tanpa dicek sebelumnya, kalau tidak mana tega mereka sebut nama orang dengan tanda -.
Dan kejadian nama terulang lagi tadi sore, ketika saya mau mengambil barang dari pos yang dititipkan di toko tetangga rumah. Karena memang tak pernah kenalan, jadinya kalau mau ambil barang ya harus nunjukin KTP. Dan ketika saya tunjukkan KTP saya, berkali-kali dia tanya "vorname bitte". Akhirnya ya saya harus berceramah lagi seperti yang saya lakukan ke pegawai bank, harus ngulang lagi kalau satu nama di Indonesia cukup umum, dari presiden sampai saya. Pengunjung yang mau belanja malah serius mendengar ceramah saya. Wah, seru juga kalau dipikir-pikir bisa ngasih kuliah ke orang Jerman tentang nama ya? Hom lah!
Post a Comment