Kisah Rahmatullah: Mesjid Yang Selamat dari Hempasan Tsunami di Aceh
Jika
video mesjid raya Baiturrahman Banda Aceh yang dilewati oleh air
tsunami tahun 2004 lalu sudah sering kita tonton di TV atau youtube,
kehebatan mesjid Rahmatullah lampuuk hanya bisa kita saksikan lewat foto
dan cerita masyarakat setempat. Dan memang, mesjid Rahmatullah ini
merupakan salah satu saksi bisu yang hingga kini masih membuat decak
kagum para pengunjungnya. Kenapa dinamakan rahmatullah, bagaimana pula
kisah orang orang yang tinggal disekelilingnya waktu tsunami terjadi?
Berikut kisahnya!
Mukim
Lampuuk yang terletak di pinggir pantai ini sudah menjadi primadona
sejak dulu kala. Jika kini banyak yang berkunjung kesana untuk berwisata
mandi laut, meuramien dan sebagainya, dulu lampuuk sudah terkenal
dengan tanaman cengkehnya. Ya, sebagian besar warganya adalah petani
cengkeh yang kebunnya terletak di gunung yang terletak dipinggir desa.
Dari mesjid, gunung yang dulunya berisi kebun cengkeh bisa dilihat
dengan jelas.
Salah
seorang adik dari nenek saya juga tinggal di lampuuk, rumahnya hanya
sekitar 100 meter dari mesjid rahmatullah ini berdiri. Waktu kecil saya
sering dibawa ibu saya ke rumah nenek yang kami sebut maknu ini. Selain
bertani cengkeh, beliau juga pengumpul cengkeh warga, yang selanjutnya
dijual untuk tujuan ekspor. Saat musim panen cengkeh, kami sering pergi
kesana untuk memetik dan merontokkan cengkeh dari tangkainya. Sangking
banyaknya cengkeh yang dipunya, kegiatan memetik dan merontokkan cengkeh
bisa berminggu-minggu lamanya. Dan itu sering dikerjakan secara gotong
royong.
Karena
kekayaan yang warga lampuuk miliki, mereka berhasil membangun mesjid
dari hasil cengkeh tadi. Sebagai tanda syukur, mesjid itu dinaman
rahmatullah, yang berarti rahmat Allah, berupa cengkeh yang mereka
miliki. Saat itu kata bapak saya, itu adalah salah satu mesjid terbesar
di Aceh Besar, kabupaten dimana kami tinggal, sedangkan mesjid raya
baiturrahman, selain terletak di ibukota Banda Aceh, ceritanya juga lain
karena mesjid ini sudah dibangun sejak lama.
Nah,
waktu Tsunami hampir semua keluarga besar maknu meninggal. Seingat saya
hanya seorang yang tinggal, yang kebetulan waktu itu tidak ikut pulang
ke rumah karena sudah menikah dan tinggal di tempat lain, anak anak
maknu yang semuanya sudah menikah juga sebenarnya tinggal di tempat
lain, cuma karena hari itu adalah hari minggu, banyak dari mereka yang
kemudian pulang kesana, dan yang namanya sudah ajal, semua mereka
meninggal.
Menurut
cerita warga setempat, saat gempa terjadi, seluruh warga panik,
semuanya berhamburan dan banyak yang menuju ke halaman mesjid. Disana
mereka berkumpul sambil berharap tidak ada gempa lagi. Setelah gempa
berhenti, sekitar 20 menit kemudian, ada penjual kacang yang lari dari
pantai lampuuk, sambil mengatakan awalnya air laut surut, kemudian ada
ombak besar, dia menuyuruh warga untuk lari karena belum pernah melihat
ombak sebesar ini. Karena warga disana umunya juga belum pernah punya
pengalaman dengan tsunami, mereka hanya berdiri saja di sekitar mesjid
atau di depan rumah, sambil melihat beberapa rumah yang sudah duluan
rubuh karena gempa.
Beberapa
saat kemudian mereka baru bisa melihat gelombang yang sangat besar,
setinggi pohon kelapa (sekitar 20 meter) datang dari arah laut, semua
panik, berlarian, tetapi sudah terlambat. Mereka semua dibawa oleh air,
sebagian besar meninggal, walau ada beberapa orang yang selamat meski
dibawa oleh air. Orang yang selamat ini terhampar beberapa kilometer
dari mesjid tadi. Dan setelah sadar, kampung mereka sudah hilang, rata
dengan tanah, yang tampak hanya mesjid, Mesjid Rahmatullah, lampuuk.
Sekitar
beberapa minggu setelah tsunami, saya termasuk yang pertama kali
membuka akses ke warga yang tinggal disini. Saat itu saya jadi relawan
dengan organisasi dari perancis MDM (medicins du monde), kami kesana
dengan mobil, masuk dari arah lhoknga, dan harus menyingkirkan begitu
banyak pohon yang menutupi jalan. Tiba disana kami membuka posko
kesehatam, tapi hanya beberapa orang yang berkunjung, karena memang
sebagian besar penduduknya meninggal, yang selamatpun sangat sedikit
yang mau kembali kesana.
Dari
beberapa orang yang berobat, dan semuanya warga disana, sebagian mereka
mengaku selamat karena waktu tsunami sedang melaut (nelayan), sedangkan
sebagian lagi selamat waktu dibawa air, bisa mendapatkan sesuatu
sebagai pegangan, seperti batang pohon. Semua yang berobat kekami punya
keluarga yang hilang, bahkan sebagian besar hanya tinggal sendiri, semua
keluarganya sudah meninggal. Tetapi ketika tim kami ada yang bertanya,
kenapa nekat kembali kesana padahal semua keluarga mereka sudah
meninggal, mereka menjawan “kalau bukan kesini kami kembali, jadi mau
kemana? Inilah tanah lahir dan tanah kami meninggal”. Mendapatkan
jawaban seperti ini, saya langsung teringat lirik lagi Aceh Lon Sayang,
yaitu “Aceh tanoh lon sayang, nibak teumpat nyan lon udep – mate”.
Harus
saya akui, warga disini sangat tegar, mereka sangat iklas dengan
kehilangan keluaganya. Tidak ada yang protes, tidak ada yang stress,
apalagi marah dengan segala kehilangan yang mereka alami. “emang kita
bisa marahi tuhan?” begitu sebut mereka suatu waktu.
Mesjid
Rahmatullah kini tetap berdiri, tegar, dan menjadi saksi bisu
kedahsyatan bencana gempa dan tsunami taggal 26 Desember 2004 silam.
Kini, 10 tahun kemudian, mesjid ini kembali berisi, shalat lima waktu
sudah digelar sejak lama, tapi jumlah jamaahnya sudah berkurang. Mesjid
ini kini sudah diperbaiki oleh bulan sabit merah turki, tapi ada bagian
yang ditinggalkan begitu saja, buat pengingat kepada pengunjung mesjid
ini. Palang merah turki juga membanguan ratusan rumah buat warga yang
selamat di sekitara mesjid. Saya masih bisa mengingat rumah maknu saya,
tetapi satu satunya anaknya yang selamat memilih untuk tidak kembali
kesana. Sekian tentang Mesjid Rahmatullah Lampuuk.
Baca Juga: Preman Kecil Di Mesjid
Itu mesjid gimana gitu ya 🏯
ReplyDelete