Maastricht, Kesan Pertama Benua Biru
Musim panas 2007, pertama kali tiba di Eropa, tepatnya Negara Belanda, saya lumayan “terkejut” dengan budaya atau kebiasaan yang mungkin sedikit “aneh” yang belum pernah saya alami di negara dan kota saya berasal. Saya tiba di negera tulip itu di waktu pagi, masih dingin, sedikit berkabut dan saya sendirian, tidak punya teman. Sebentar transit di Amsterdam, perjalanan langsung ke kota tujuan, Maastricht.
Tiba disana sudah lewat zuhur, karena masih buta dengan kota dan tidak punya teman seorangpun, saya memilih taksi untuk mengantar ke studenthuis yang sudah duluan saya book secara online saat masih di Aceh.
Para sopir taksi yang menunggu di depan Bandara sangatlah ramah, mereka tidak memaksa kita untuk naik ke taksi mereka. Mereka hanya berdiri sambil tersenyum. Kalau kita mendekat, mereka langsung membuka pintu, sambil mengucapkan rate dari Bandara Maastricht-Aachen ke kota, 40 euro kalau saya tidak salah. Hanya beberapa menit saja berada dalam taksi, saya sampai di sebuah gedung yang lumayan mewah untuk disebut sebagai “asrama mahasiswa”. Untuk pertama kali juga, beberapa Euro berpindah tangan dari kantong saya ke supir taksi yang cukup bangga bercerita tentang kota keramik ini.
Di resepsionis, saya hanya menunjukkan bukti booking dan kunci kamar berpindah tangan ke saya. Untuk beberapa menit kemudian, saya harus mencari-cari kamar saya sendiri, sendirian. Jangan harap ada bellboy yang mengantar jemput ke kamar dan berharap tips. Di Belanda semua harus dilakukans sendiri, secara mandiri. Belakangan juga ada mahasiswa dari India yang bawa cukup banyak barang, dan minta tolong ke resepsionis untuk diantarkan ke kamarnya, dengan simple mereka menjawab, "you are responsible with you things", hana pat koh can lah.
Saya memang sebelumnya telah diberitahu pihak asrama bahwa akan punya seorang roommate di studio yang akan kami tempati, studio adalah istilah untuk kamar yang berisi tempat tidur, meja dan kursi, serta peralatan untuk memasak, sedangkan kamar mandi dan toilet terletak di luar, di ujung koridor dan berbagi dengan penghuni studio yang lain.
Saya masuk, si kawan yang orang india rupanya sudah menunggu kedatangan saya, bersalaman, berkenalan, saling berbasa-basa dan saling bercerita tentang kami masing-masing. Orangnya cukup ramah, mungkin karena sesame orang Asia? Saya tidak tahu pasti, tapi saya merasa sangat terbantu dengan berbagai informasi yang diberikannya mengenai kota Maastricht ini. Dia memang sudah beberapa lama berada disini dan sudah lumayan tahu tentang “budaya” yang menurutnya juga jauh berbeda dengan Negara dan kota tempat ia berasal, Oriza di India.
Saya diberitahukan kalau orang disini sangat mengikuti peraturan “bahkan di saat malampun, saat orang tidak ada di jalan, mobil-mobil akan berenti kalau lampu merah, orang pejalan kaki pun akan berenti kalau memang lampu untuk pejalan kaki adalah merah, walau tak ada satu mobilpun melintas di depan mereka”, Ceritanya panjang lebar. Informasi ini sungguh menarik bagi saya, karena memang belum pernah melihat apalagi melakukan hal yang seteratur ini. Biasa kan kalo kita, enggak pernah tahu atau tidak mau tahu beda lampu merah, kuning atau hijau? Kecuali kalo ada polisi di depan.
Jam menunjukkan 11.30 pm waktu setempat, saya masih belum mengantuk sedikitpun, sehingga saya memilih membuka laptop untuk menulis beberapa kisah menarik tentang perjalanan saya dari rumah hingga tiba di negeri antah berantah ini. kisah saat mengurus visa, tersesat di Jakarta, bingung mencari tiket, hingga tiba disana. Setelah tiba, musibah terjanyata masih bersahabat dengan saya, sendirian di bandara schipol dan kebingungan, sampai ke Maastricht, juga masih terlalu bangai untuk mencari lokasi penginapan, menariknya karena semua kisah itu saya alami sendirian.
Jam 12.00 malam, saya masih sangat penasaran dengan ceritanya mengenai lampu merah tadi, akhirnya saya putuskan untuk keluar dan melihat langsung. Saya pakai 2 lapis jaket, jeans, sepatu dan tidak lupa penutup kepala, saya langsung berjalan santai keluar studio. Di dalam asrama kerasa rada sepi, diluar juga begitu, mungkin penghuninya pada istirahat pikir saya.
Hanya sekitar 200 meter dari pintu masuk asrama, saya tiba di sebuah halte. Tidak ada orang disitu selain saya. Meletakkan pantat saya di kursi halte yang cukup bersih . Jujur, ini bener-benar bersih, tidak ada bekas tapak sepatu di dudukannya seperti di halte di kampong saya. Saya melihat ke jalan dua jalur yang ada di depan saya, ada lampu lalu lintas di salah satu sisinya dan suasanya sudah cukup sepi.
Lampu masih hijau, sebuah mobil sedan merci melintas tanpa berhenti, jelas memang karena lampunya hijau. Sesaat kemudian, lampu menjadi merah. Sebuah BMW mewah berhenti sesuai instruksi si lampu, padahal tidak ada mobil lain di lawan jalannya. ‘mungkin orang wealth dan berpendidikan yang memang sadar peraturan’pikir saya saat itu. Lampu kembali hijau dan si mobil pun hilang di telan gelapnya malam.
Sesaat kemudian, lampu kembali merah, sebuah bus bertuliskan veolia kembali berhenti, padahal jelas-jelas tidak ada mobil lain yang melintas saat itu. Tapi si supir bus tetap berhenti, hingga lampu hijau kembali mengizinkan mobilnya berjalan. Lebih dari 15 menit saya duduk disitu, dan tetap saja melihat fenomena yang sama, semua mobil akan berhenti saat lampu merah, dan hanya akan jalan saat lampu hijau menyala, walaupun tak ada satupun mobil dari arah yang berjalan.
Kedinginan dan menggigil, saya memutuskan untuk kembali ke kamar, dengan sebuah kesimpulan bahwa kota atau penduduk di negeri Snouck Horgonje ini cukup taat dengan peraturan, tak perlu ada polisi disana. Sebuah kebiasaan yang layak kita tiru, dari bangsa yang katanya sangat bebas dan bahkan katanya kebanyakan atheis, oleh kita warga timur yang katanya lebih berbudaya dan semuanya penganut agama.
Banda Aceh 12-07-10
Note: Tulisan lama yang di postingkan kembali
Cantek ya kota nya :)
ReplyDelete